Ditinjau dari asal kata, Tulungagung berasal dari dua kata Jawa kawi yaitu Tulung dan Agung. Tulung bermakna pertolongan atau sumber air, sedangkan agung bermakna besar. Dengan demikian nama Tulungagung mengandung dua makna yaitu pertolongan agung dan sumber air besar. Dua makna itu sama-sama cocok diterapkan untuk Tulungagung.
Berdasarkan pandangan geografis, sejak jaman Erlangga sampai jaman orde lama, wilayah Tulungagung bagian tengah dan selatan merupakan hamparan rawa sangat luas dan dalam. Sebelum nama Tulungagung digunakan, kabupaten di selatan sungai Brantas ini pernah menggunakan nama kabupaten Ngrawa. Dalam cerita rakyat, Tulungagung dikenal juga sebagai Bonorowo, artinya hutan yang berubah jadi rawa. Ini penjelasan Tulungagung bermakna sebagai sumber air besar.
Sementara Tulungagung bermakna sebagai pertolongan agung adalah berdasarkan pandangan historis. Bahwa sejak jaman Medang Mataram, Tulungagung senantiasa memberikan pertolongan besar atau agung kepada pararaja yang memerintah dalam kurun berbeda. Di sini Tulungagung sebagai subyek yang memberi, bukannya obyek yang menerima pertolongan agung.
Lepas dari makna apa yang paling tepat, yang jelas istilah Tulungagung mulai digunakan sebagai nama kabupaten pada tanggal 1 April 1901, dimana sejak itu kabupaten Ngrawa berubah menjadi kabupaten Tulungagung. Penanggalan ini sempat dijadikan landasan penentuan hari jadi Tulungagung, meski kemudian, pada tahun 2003, direvisi berdasarkan penanggalan prasasti Lawadan, 18 Nopember 1205M. Sampai sekarang tanggal 18 Nopember ditetapkan sebagai hari jadi kabupaten Tulungagung.
Pada masa lalu, wilayah brangkidul Tulungagung adalah daerah di selatan sungai Brantas, mulai dari alas Lodaya di timur, berbatasan langsung dengan daerah Turen atau Turyantapada, memanjang ke barat sampai gunung Wilis dan pegunungan Trenggalek, termasuk daerah Kampak dan Munjungan. Karena itu sejarah Tulungagung bakal bersinggungan dengan sejarah Blitar dan Trenggalek. Sejarah Tulungagung, terutama juga bersinggungan dengan sejarah Kediri.
Selama ini boleh dibilang belum ada buku sejarah yang mengupas secara dalam sejarah Tulungagung sebelum Majapahit runtuh. Sebagian banyak sejarawan ketika membicarakan sejarah Tulungagung hanya menjangkau sampai masa Mataram Islam atau masa pemerintahan Sultan Agung [1613M-1645M] dengan keberadaan seorang tokoh yang menjadi adipati di kadipaten amancanegara Wajak yaitu Tumenggung Surantani.
Pada kesempatan ini kita akan mencoba menguak lebih jauh sejarah peradaban Tulungagung berdasarkan sumber sumber sejarah primer, sekunder dan tersier. Nanti akan ternyata bahwa keberadaan Tulungagung dalam panggung sejarah Nusantara sudah tampil sebagai wilayah berpemerintahan jauh sebelum keluarnya prasasti Lawadan yang sekarang menjadi landasan penentuan hari jadi kabupaten Tulungagung.
* * *
Tulungagung Masa kerajaan Medang Jawatengah
SRI DHARMODAYA RAKRYAN WATUKURA HAJI BALITUNG adalah raja Medang i Poh Pitu yang berkuasa antara tahun 898M-910M. Di awal tahun memerintah, Haji Balitung mengeluarkan prasasti untuk satu daerah di Tulungagung yaitu Penampihan. Di dusun Ngrejeng, desa Geger, Sendang Tulungagung terdapat candi Penampihan dan di halaman candi di depan pintu masuk terdapat prasasti batu berangka tahun 820C/898M serta terdapat arca ganesa berangka tahun 1174C/1194M. Jadi sejak tahun 898M daerah Penampihan telah ditetapkan sebagai daerah sima perdikan. Ini juga menunjukkan bahwa sejak tahun 898M, Tulungagung sudah secara resmi memiliki bentuk pemerintahan merdeka dan berhak mengatur rumahtangga sendiri. Sementara itu adanya peninggalan arca berangka tahun 1194M sangat mungkin berkaitan dengan keberadaan raja Kertajaya yang pada tahun itu mengeluarkan prasasti untuk daerah Kamulan Kalangbret.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa Haji Balitung adalah maharaja Medang yang pertama mengadakan perluasan kekuasaan ke Jawatimur bahkan Bali. Pada masa itu di Jawatimur berdiri satu kerajaan besar bernama Kanjuruhan yang berpusat di timur gunung Kawi. Untuk menguasai Jawatimur, sudah barang tentu Haji Balitung harus menaklukkan Kanjuruhan lebih dulu. Dan itu yang kemudian dilakukannya.
Tetapi pada penyerbuan pertama, pasukan Haji Balitung mendapat perlawanan sengit, terpukul mundur ke barat, sampai akhirnya berkubu di gunung Wilis, persisnya di daerah Penampihan. Atas bantuan besar atau pertolongan agung para tokoh dan penduduk Penampihan Kubu-Kubu, Haji Balitung berhasil menaklukkan Kanjuruhan. Kemudian sri maharaja rakryan Watukura haji Balitung kembali mengeluarkan anugerah sima perdikan kepada daerah Penampihan sewilayahnya dan termuat dalam prasasti tembaga yang dikenal sebagai prasasti Kubu Kubu bertarikh 827C/17 Oktober 905M.
Prasasti Kubu Kubu terdiri dari 6 lempengan tembaga yang merupakan lempengan ke-1, 3, 4, 5, 6, dan lempengan 7 dari sebuah prasasti, masing masing berukuran 35,5x6 cm. Lempengan 1 terdiri dari 5 baris pada satu sisi. Lempengan 3 dan 4 bertulis 5 baris pada dua sisi. Lempengan 5 dan 6 bertulis 4 baris pada dua sisi. Lempengan 7 bertulis 4 baris pada satu sisi. Huruf dan bahasanya Jawakuna. Menurut Damais dan Buchori, lempengan prasasti ini berasal dari situs Penampihan.
Setelah Haji Balitung wafat, tahta Medang berturut diduduki oleh Mpu Daksa, rake Layang dyah Tulodong, dan terakhir rake Sumba dyah Wawa.
Rake Sumba dyah Wawa berkuasa antara tahun 927M- 928M. Pada masa inilah kekuatan Sriwijaya wangsa Selendra kembali menggempur tanah Jawa. Sriwijaya merupakan satu-satunya musuh bebuyutan wangsa Sanjaya. Pada penyerbuan itu, Rakai Sumba dyah Wawa gugur. Sementara mahamentri hino Mpu Sindok selamat dan menyingkir bersama sisa pengikutnya ke Jawatimur. Penyerbuan Sriwijaya atas pemerintahan Rake Sumba dyah Wawa memang tidak pernah termuat dalam prasasti yang keluar masa kemudian. Tetapi peristiwa besar itu dapat diselusuri melalui sejarah perseteruan Sriwijaya dan Medang.
* * *
Tulungagung Masa Kerajaan Medang Jawa Timur
Berdasarkan prasasti Turyyan 929M, diketahui Mpu Sindok membangun keraton baru pertama di Tamwlang. Sri maharaja makadatwan i tamwlang. Tamwlang hanya ditemukan dalam prasasti ini. Diperkirakan berada di desa Tambelang, Jombang. Kemudian berdasarkan prasasti Anjukladang 937M, Mpu Sindok memindah ibukota Medang ke Watugaluh, masih di daerah Jombang.
Mendengar kerajaan Medang muncul di Jawatimur, kekuatan wangsa Selendra di Jawatengah tidak tinggal diam. Mereka berderap ke timur melalui jalur darat atau pedalaman, dengan tujuan utama menghacurkan pemerintahan Mpu Sindok. Karenanya pasukan itu dihadang di daerah Anjukladang atau Nganjuk. Dua kekuatan bertempur dahsat. Sriwijaya harus mengakui bahwa pedalaman Jawatimur bukan tempat yang cocok untuk berperang. Sriwijaya tidak mampu menjangkau sungai Brantas di timur Kertosono, tidak mampu memukul pusat pertahanan di daerah Jombang. Pasukan besar wangsa Selendra terpukul mundur. Kemenangan mpu Sindok itu berkat bantuan kekuatan para penduduk Anjukladang. Mpu Sindok kemudian menganugerahi daerah Anjukladang sebagai sima perdikan dan dikukuhkan pada prasasti.
Sangat mungkin kemenangan Mpu Sindok atas Sriwijaya juga berkat sokongan kekuatan dari Kampak. Ketika itu selain melakukan perjalanan melalui darat dan dicegat di daerah Anjukladang, armada pasukan Sriwijaya juga melakukan perjalanan melalui jalur laut dan berlabuh di pantai selatan atau sekitar pantai Parigi. Sampai kemudian kekuatan dari Kampak membantu mpu Sindok berusaha menghalau pasukan Sriwijaya yang berniat menguasai Jawatimur. Atas jasa besar yang telah diberikan para penduduk Kampak, Mpu Sindok kemudian mengeluarkan prasasti yang berisi anugerah sima perdikan kepada daerah Kampak.
Sebelum menjadi bagian Trenggalek, daerah Kampak pernah masuk Brang Kidul Tulungagung ketika masih bernama kadipaten amancanegara Wajak. Karenanya dapat dikatakan pula bahwa pada awal pemerintahan Mpu Sindok, Tulungagung kembali tampil dalam pentas sejarah, kembali memberikan pertolongan agung pada seorang raja.
Kemudian pada masa Sri Dharmawangsa Teguh berkuasa di kerajaan Medang Jawatimur, wangsa Selendra yang masih membangun kekuasaan di Jawatengah berupaya mendesak ke timur. Sementara kekuatan Medang Watan juga giat menggempur Jawatengah. Sampai akhirnya wangsa Selendra terdesak kembali ke tanah Sumatera. Sri Maharaja Dharmawangsa Teguh menguasai sepenjuru Jawa.
Dharmawangsa giat membangun armada laut untuk mempermudah upaya memburu wangsa Selendra yang membangun kekuatan di Sriwijaya Palembang. Ia mulai berpikir meluaskan kekuasaan ke sepenjuru nusantara. Tercatat beberapa kali melayarkan armada laut menyerbu Palembang.
Tetapi peristiwa dahsat pecah pada sekitar 1006M, saat pasukan gabungan Lwaram dan Sriwijaya datang menggelombang menghancur kejayaan Sri maharaja Dharmawangsa Teguh. Raja Sriwijaya yang menyokong kekuatan dahsat Lwaram itu adalah Sri Marawijayattunggawarman, putra Cundamaniwarman dari wangsa Selendra. Raja ini keturunan Balaputradewa. Hancurnya Sri Maharaja Dharmawangsa kelak diabadikan dalam prasasti Pucangan yang dikeluarkan Erlangga pada tahun 1041M:
rikalaning pralaya ring yawadwiparikang sakalala 928 ri prahara haji Wurawari maso mijil sangke Lwaram, ekarnawa rupanikang sayawa-dwipa rikangkala. Ketika terjadi pralaya di pulau Jawa pada 928 saka atau 1006M, akibat prahara yang dilancarkan raja Wurawari dari Lwaram, pulau Jawa pada waktu itu bagaikan hamparan lautan.
Pada waktu itu berlangsung pesta merayakan penikahan Erlangga dengan Dewi Laksmi, putri sulung Dharmawangsa. Sri Dharmawangsa dan permaisuri gugur. Sementara dalam kawalan Narottama, Erlangga dan permaisurinya berhasil mengungsi ke barat, menuju sebuah asrama Pandita di Wanagiri, tepatnya di desa Cane. Beberapa bulan kemudian Erlangga dan Narottama menuju desa Terep di kaki gunung Penanggungan, berlindung dan berguru pada seorang pandita penganut agama Siwa. Erlangga menyunting putri sulung pandita Terep sebagai istri selir.
Ketika Medang i Watan runtuh, beberapa kerajaan bawahannya seperti Wengker, Hasin, Wuratan, Lewa, dan Lodoyong memerdekakan diri. Lodoyong berdaulat di selatan sungai Brantas, mulai dari alas Lodaya di timur, hingga daerah Kamulan Parahyangan di kaki gunung Wilis, batas Hasin. Menurut Koes Indarto dalam buku Katuturanira Maharaja Erlangga, kerajaan Lodoyong berpusat di daerah Tulungagung sekarang. Jadi Tulungagung klasik pernah bertegak satu kerajaan bernama Lodoyong yang dipimpin raja perempuan bernama ratu dyah Tulodong. Sementara pusat kerajaan Hasin sekarang berada di sekitar kota Trenggalek atau di barat sungai Ngasinan.
Pada sekitar 1009M, datang para pandita dan kesatria ke pertapaan Terep, menemui Erlangga, meminta supaya menjayakan kembali kerajaan Medang. Erlangga menyanggupinya. Maka perlahan Medang berkumandang di kaki gunung Penanggungan, menaklukkan desa-desa kecil dan kerajaan-kerajaan di sekitar Penanggungan, sambil mulai membangun istana baru di Watan Mas, di kaki gunung Penanggungan.
Ketika pada 1025M Sriwijaya ditaklukan Colamandala dari India, Erlangga leluasa melebarkan sayap kekuasaannya. Mpu Narottama menyarankan supaya tidak tergesa menggempur Lodoyong Tulungagung yang pada waktu itu memiliki balatentara yang sangat tangguh. Maka untuk sementara balatentara Medang menaklukan Lewa, Wuratan, dan Hasin.
Penaklukan Erlangga atas kerajaan Hasin di baratdaya gunung Wilis kelak menerbitkan prasasti Baru, 28 April 1030M. Isi prasasti itu adalah pemberian anugerah perdikan kepada desa Baru. Adapun jasa-jasanya rakyat desa Baru karena mereka telah memberikan layanan sebagaimana mestinya pada waktu Erlangga dan balatentaranya berkemah di desa Baru menjelang penyerbuan ke kerajaan Hasin. Pada waktu itu raja berjanji menjadikan desa Baru sebagai sima perdikan apabila menang peperangan dan berhasil mengalahkan raja Hasin.
Jadi menjelang penyerbuan terhadap Hasin, Erlangga berkubu di daerah perbatasan atau menjelang masuk Hasin. Daerah Baru bukan wilayah Hasin. Jika merupakan wilayah Hasin, tentulah para penduduk Baru yang setia pada Hasin akan melawan Erlangga. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa Baru membantu Erlangga menyerbu Hasin di kota Trenggalek sekarang.
Dapat dikatakan bahwa pada masa itu, tidak semua daerah brang kidul melawan Erlangga, salah satunya daerah Baru. Sekarang desa Baru bernama Baruharjo, di kecamatan Durenan, Trenggalek, berbatasan langsung dengan kabupaten Tulungagung. Tetapi pada masa Erlangga, desa Baru masuk wilayah Tulungagung. Tercantumnya nama Baru pada prasasti, dapat pula dikatakan bahwa daerah Brang Kidul Tulungagung kembali memberikan pertolongan agung pada seorang raja.
Mendengar pasukan Erlangga menaklukkan Hasin, ratu Tulodong tidak tinggal diam. Hasin berada tepat di barat Lodoyong dan Erlangga melibatkan penduduk Baru. Pemberian anugerah Erlangga kepada desa Baru sama artinya meleceh kekuasaan ratu Tulodong karena daerah Baru merupakan kekuasaan Lodoyong. Maka pasukan besar Ratu Dyah Tulodong berderap menuju lereng Penanggungan atau gunung Arjuna, menggempur istana Erlangga di Watanmas. Pasukan Erlangga terpukul mundur ke utara, hingga kemudian bertahan di sebuah tempat bernama Patakan. Peristiwa sejarah ini tercatat dalam Prasasti Terep 1032M : “…Cri maharaja katalayah sangke wwatan mas mara i patakan”.
Meski dalam Prasasti Terep tidak menyebut nama perempuan perkasa yang berhasil mengalahkan Erlangga, dari penafsiran prasasti Terep dan Pucangan, Koes Indarto dalam buku Katuturanira Maharaja Erlangga, menyimpulkan bahwa sang penakluk itu adalah ratu Dyah Tulodong, penguasa kerajaan Lodoyong yang berpusat di selatan sungai Brantas atau Tulungagung sekarang.
Prasasti Terep dan Prasasti Pucangan menulis bahwa ratu itu bertubuh serupa raksasa dengan kekuatan melebihi manusia biasa. Ungkapan itu adalah simbolisasi bahwa perempuan penakluk dari daerah selatan itu memiliki kekuatan luar biasa serupa raksasa atau melebihi kekuatan orang biasa, bukan bentuk tubuh ratu itu mengerikan serupa raksasi atau raksasa perempuan. Tentunya penulis Prasasti memiliki alasan mengapa menyebut ratu Tulodong bertubuh serupa raksasa. Prasasti yang tulisannya berbentuk kidung ini memang bertujuan untuk memuji sosok Erlangga sebagai maharaja titisan Wisnu. Sementara Ratu Tulodong adalah pemuja Durga. Dalam pemahaman ajaran Trimurti, Batara Durga merupakan salah satu sakti atau istri Dewa Siwa.
Sampai kemudian pada tahun 1032M, Erlangga berhasil menaklukkan kekuasaan ratu Tulodong di Lodoyong. Tetapi Ratu Tulodong mendapat pengampunan Erlangga, tetap memimpin Lodoyong sebagai bawahan Medang. Beberapa waktu kemudian, setelah menundukkan Lodoyong, balatentara Medang menyerbu Lwaram. Kekuatan Lodoyong bergabung merajalela di Lwaram. Lwaram lautan api, raja Wurawari hancur.
Setelah menaklukkan Lodoyong, Erlangga tidak menempati istana Watan Mas, melainkan membangun keraton baru bernama Kahuripan. Ini karena Erlangga memiliki pemahaman dan keyakinan seperti leluhurnya Mpu Sindok, bahwa istana yang pernah diduduki musuh bakal menciptakan kekuatan buruk jika tetap ditempati. Tiga tahun setelah penaklukkan Lodoyong, Erlangga bersama kekuatan Lodoyong bersatu kembali menggempur Wengker yang terletak tepat di barat Lodoyong atau Hasin. Prasasti Pucangan menulis rangkaian penaklukan Erlangga terhadap Lodoyong dan Wengker:
Ada sebuah negeri di bagian selatan yang dipimpin seorang perempuan perkasa bertubuh serupa raksasa. Dengan gagah berani beliau memasuki daerah yang hampir tak dapat dimasuki itu pada tahun saka 954/1032M. Pada waktu itulah nama raja semakin harum lantaran menaklukan dan membakar daerah Jawa bagian selatan.
Bagai seekor naga api dengan lidahnya, menjilat kekiri kekanan. Kemudian daerah selatan paling mengerikan di tanah Jawa itu ditetapkan sebagai daerah taklukan. Setelah mendapat banyak harta rampasan yang dihadiahkan kepada para hambanya, kemasyuran sang raja setara para brahmana dan petapa.
Terdorong keinginan mencari nama, pergilah beliau sesudah itu menuju ke Barat pada tahun 957 Saka/1035M tanggal 13 paroterang, bulan Badrapada, hari Rabu, membawa balatentara tak terhitung banyaknya lengkap dengan prajurit bertenaga kuat dan yang ingin berperang (pasukan Lodoyong). Dengan tepuk gemuruh dunia, beliau berhasil memetik kemenangan mengalahkan raja bernama Wijaya —raja Wengker Wijayawarman.
Mencermati prasasti Pucangan yang menulis ratu penakluk dari daerah selatan sungai Brantas bertubuh serupa raksasa dengan kekuatan melebihi manusia biasa. Sebenarnya ini hanya kiasan, bukan berarti nyata wujud raksasa atau raksasa perempuan bertubuh menakutkan bertaring menyeramkan. Ungkapan itu simbolisasi bahwa ratu Tulodong berkekuatan dahsat serupa raksasa serta menganut ajaran Siwa aliran Bhairawa. Dalam pandangan penganut Wisnu seperti Erlangga, ajaran Siwa Bhairawa dianggap lebih rendah derajatnya sehingga dirupakan sebagai raksasa. Prasasti itu bertujuan memuji sosok Erlangga sebagai maharaja titisan Wisnu. Sekali lagi, pihak yang berkuasa berhak menulis berita sejarah sesuai haluan keyakinannya. Ini ternyata terus dilakukan para penguasa di masa kemudian.
Penyerupaan ratu Tulodong sebagai raksasa mirip penyebutan denawa untuk Endang Sasmitapuri, ibu arya Damar. Babad Tanah Jawi mencatat adipati Palembang arya Damar merupakan putera Prabhu Brawijaya dari putri denawa bernama Endang Sasmitapuri, yang sewaktu hamil diusir dari keraton dan melahirkan arya Damar di hutan Wanasalam. Endang Sasmitapuri tidak bertubuh raksasa. Sebutan denawa dalam cerita babad bertujuan untuk merendahkan derajat para penganut ajaran Siwa aliran Bhairawa.
Ada kemungkinan, lantaran muncul ungkapan ’pemimpin perempuan di daerah selatan sungai Brantas yang bertubuh perkasa serupa raksasa’ dalam prasasti Pucangan, banyak sejarawan enggan menguak peristiwa sejarah itu. Penyusun buku Sejarah Nasional Indonesia juga sulit menafsirkan siapa sesungguhnya penguasa perempuan perkasa yang berhasil menaklukkan Erlangga itu. Berita kehancuran Erlangga di istana Watan Mas memang sempat pula dipaparkan Nugroho Notosusanto dalam buku Sejarah Nasional Indonesia terbitan 1990M —hanya menafsirkan ’daerah di Jawa bagian selatan’ sebagai Lwaram. Sementara Lwaram bukan di selatan Penanggungan, melainkan di arah barat.
Setelah Wengker takluk pada 1035M, Erlangga dapat dikatakan berhasil menjadi maharaja Medang. Semua kerajaan di Jawatimur dan Jawatengah dalam kekuasaannya. Kegemilangan Sri Maharaja Erlangga juga tercetak pada prasasti Turun Hyang I, 1036M, bertepatan dengan penganugerahan sima pada penduduk Turun Hyang atas segala jasanya menjaga pertapaan Sriwijayasrama serta tempat-tempat suci lainnya di gunung Pugawat. Dalam prasasti ini ibukota Erlangga di Kahuripan. Dapat dikatakan, pada masa ini, Erlangga adalah raja Medang bhumi Kahuripan.
Hingga pada tahun 1036M, rombongan utusan Ratu Tulodong menuju kotaraja Kahuripan, menyampaikan berita kepada Erlangga. Isi pokok berita dari bhumi Lodoyong itu tentang banjir sungai Brantas yang kembali menjebol tanggul di daerah Waringin Sapta atau Ringin Pitu, merusak sawah-sawah penduduk brang kidul, membikin hasil tanam melorot, membikin pajak bumi yang diangkut ke Kahuripan berkurang jumlahnya. Bukan sekali dua kali tanggul rontok, tetapi banyak kali, berlangsung bertahun-tahun. Setiap jebol, tanggul selalu ditutup dibendung, tetapi setiap datang musim hujan, banjir Brantas selalu naik menjebol menggerus, mengalir bebas ke selatan, mengisi setiap palungan, menenggelamkan sepertiga bhumi Lodoyong, menyentuh daerah-daerah sima di barat Waringin Sapta seperti Kalang, Kalagyan, Thani Jumput, biara-biara, bangsal-bangsal tempat para pertapa di Kamulan, bangunan suci tempat pemujaan dewa, dan pertapaan-pertapaan daerah Labapura bagi sang Hyang Dharmma ring Isanabhawana di Surapura.
Pada waktu itu banjir sungai Brantas diperkirakan membobol tanggul di daerah Ngunut atau sekitar desa Kaliwungu. Dari sana banjir mengalir ke selatan membentuk aliran sungai baru setiap musim hujan. Banjir rutin itu menjadikan daerah palungan di lembah pegunungan Walikukun dan Indrakila tergenangi air melimpah ruah membentuk hamparan rawa. Daerah-daerah tersebut dekat pegunungan kapur, sangat mungkin permukaan tanahnya menjadi mampat. Dari daerah Boyolangu, banjir bergerak ke utara mengalir menuju kaki Wilis di daerah Kamulan, Kalangbret atau sekitar thani Bala. Sungguh hamparan rawa sangat luas.
Sepertiga bhumi Lodoyong berubah menjadi hamparan rawa. Karena meski musim hujan selesai, limpahan air banjir yang sudah mengisi palung dan lembah-lembah tidak dapat keluar atau mengalir balik menuju sungai Brantas. Inilah awal mula terciptanya rawa di selatan gunung Wilis atau di Tulungagung.
Erlangga tentu masih teringat peristiwa di penghujung 1030M saat kekuatan Lodoyong menghancur istana Watan Mas. Meski sudah ditaklukkan, Lodoyong tetap memiliki kekuatan besar, sanggup sewaktu-waktu menggempur Kahuripan. Dari segi politik dan keamanan negara, peristiwa bencana di Lodoyong terbilang rawan. Jika tidak segera ditanggulangi atau diperhatikan secara khusus, besar kemungkinan menimbulkan pergolakan daerah.
Daerah Lodoyong sejak lama terkenal dengan hasil panen padi unggulan, utamanya padi hitam, barang dagangan yang banyak dicari para pedagang Tiongkok. Setelah menjadi daerah bawahan Medang Kahuripan, Lodoyong dikenal sebagai salah satu pemasok pajak hasil bumi terbesar di Jawa Timur.
Pertanian di Lodoyong juga mendukung kegiatan perdagangan di pelabuhan Hujung Galuh. Bencana itu menimbulkan gagal panen dalam waktu panjang, mengakibatkan perdagangan di Hujung Galuh terganggu. Kapal-kapal dari pulau lain banyak yang kesulitan mencari barang dagangan, utamanya beras dan hasil bumi unggulan Lodoyong. Lesunya perdagangan di Hujung Galuh akibat banjir di Brang Kidul ini kelak tersirat dalam prasasti Kamalagyan.
Maka setelah memertimbangkan segalanya, atas nama kesejahteraan dan ketenteraman negeri, serta memandang bakti besar Ratu Tulodong, Sri Maharaja Erlangga segera mengambil kebijakan hebat, membangun bendungan besar, berjuang mengendalikan banjir musiman sungai Brantas di Lodoyong.
Pembangunan ini membutuhkan banyak tenaga. Sudah barang tentu sepasukan prajurit Kahuripan datang ke Lodoyong, bergabung dengan pasukan Ratu Tulodong dan para penduduk brang kidul. Pasukan tanggap bencana dari Kahuripan itu menempati bukit tidak jauh di selatan sungai Brantas yang kelak bernama Pulotandha, artinya tanah tempat berdiam para tandha atau prajurit. Di timur laut desa Pulotandha inilah banjir sungai Brantas naik menggerus tebing sungai, menciptakan sungai baru menuju arah Boyolangu dan sekitarnya. Daerah di selatan Pulotandha sudah terendam air rawa.
Penanggulangan banjir sungai Brantas di Lodoyong dilakukan sangat cermat. Pertama yang dilakukan adalah menutup tempat yang menjadi pintu masuknya banjir. Tempat itu merupakan tebing sungai paling rendah sehingga ketika sungai Brantas meluap, airnya mudah menjangkau. Maka tanggul panjang, besar, dan cukup tinggi dibangun menggunakan gelondongan kayu-kayu dan batu-batu. Pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan semangat keras.
Dan kali ini pembuatan tanggul bukan hanya pada tempat yang menjadi pintu masuk banjir. Jika itu masih dilakukan, sebagaimana sebelumnya dilakukan penduduk Brang Kidul, maka banjir akan mencari tempat baru di bagian hulu dan hilir pintu itu lalu kembali menggerus. Maka tanggul sungai dibuat cukup panjang.
Selesai pembangunan tanggul di sisi selatan sungai Brantas, mereka melanjutkannya dengan membuat sungai sebagai jalan mengeluarkan air yang sudah menjadi hamparan rawa. Sungai baru itu memanjang dari selatan ke utara, dari arah Boyolangu menuju tebing sungai Brantas di daerah Kelagyan. Air rawa dapat mengalir melalui sungai itu. Para penduduk kelak menyebut sungai itu sebagai sungai Ngrawa atau Ngrawa, artinya sungai yang airnya berasal dari rawa.
Tapi memang air rawa tidak benar-benar habis. Penyebabnya adalah dasar sungai Brantas ternyata lebih tinggi dari daerah palungan di lembah Indrakila dan beberapa daerah lain di Lodoyong. Jika banjir berhenti, sungai mengalir ke utara, tetapi jika musim banjir, air sungai Brantas mendesak masuk melalui muara sungai Ngrawa di desa Kelagen itu.
Maka kemudian di muara sungai Ngrawa dibangun semacam pintu terbuat dari gelondongan kayu yang sewaktu-waktu dapat dibuka dan ditutup. Kelak yang bertugas menjaga pintu bendungan itu adalah para penduduk desa Kelagyan dibantu penduduk desa sekitar Waringin Sapta. Menaikkan dan menurunkan pintu bendungan ini jelas butuh tenaga banyak.
Menjelang pembangunan bendungan Waringin Sapta selesai, melapor beberapa prajurit telik sandi kepada Erlangga. Bahwa Raja Wijayawarmma yang pernah ditaklukkan Erlangga, berupaya memerdekakan diri dan melancarkan pemberontakan. Rupanya kabar pembangunan bendungan di Lodoyong terdengar sampai Wengker. Lodoyong berada tepat di timur Wengker, di antara dua kerajaan ini merupakan wilayah Hasin. Wengker tentu berpikir bahwa pelaksanaan pembangunan besar-besaran itu sangat menguras tenaga dan perhatian kekuatan Medang Kahuripan. Sebagian besar tercurah untuk menyelesaikan pembangunan bendungan Maharaja itu. Ini yang kemudian dimanfaatkan Wengker untuk mencoba mengadakan semacam pemberontakan, memerdekakan diri.
Maka begitu etelah Wijayawarmma, ta rampungringin Sapta rampung, Raja Wijayawarma dan Raja Wengkertaangga. pembangunan bendungan Waringin Sapta rampung, pasukan gabungan Medang dan Lodoyong berderap dari Lodoyong menuju Wengker. Dalam prasasti memberitakan bahwa pasukan itu berderap ke arah barat lalu menghancurkan Wengker. Raja Wijayawarmma melarikan diri.
Tetapi patih Wengker bersama sebagian prajuritnya menyerah dan mendapat ampunan Erlangga. Sebagai tanda bakti, patih Wengker bersedia menunaikan titah Erlangga, menghukum Wijayawarmma. Janji itu terbukti. Raja Wikjayawarmma gugur terpancung bekas patihnya sendiri.
Selepas menghancurkan Wengker dan menyelesaikan pembangunan bendungan Waringin Pitu, pada bulan kartika tahun saka 959 atau 1037M, Sri Maharaja Erlangga mengeluarkan prasasti berisi pemberian anugerah berupa pengurangan —bukan pembebasan— pajak-pajak hasil bumi yang seharusnya disetor ke istana dari desa Kamalagyan dan sewilayahnya, tepian sungai dan rerawanya, dari Kalagyan, serta dari Kakalangan. Anugerah itu dikeluarkan sebagai imbalan kepada penduduk Kamalagyan dan sekitar Kakalangan yang telah berjasa besar menyelesaikan pembangunan bendungan Waringin Sapta. Anugerah ini sekaligus kewajiban penerima anugerah untuk menjaga sepenuhnya keamanan bendungan maharaja. Dalam prasasti bendungan ini disebut sebagai Bendungan Maharaja.
Meski telah dibangun bendungan Maharaja, selama lebih empat abad, rawa luas itu tetap ada. Meski telah dibangun sungai baru yang mengalir ke utara dari arah Bhayalangu yang kelak disebut sungai Ngrawa, akan tetapi kerap ketika musim banjir, arus sungai Ngrawa mengalir ke selatan, lantaran banjir Brantas naik mendesak muara sungai Ngrawa.
Prasasti Kamalagyan merupakan prasasti Batu. Beberapa prasasti batu yang ditemukan sekarang, bukan berada pada letak semula melainkan pindahan dari tempat lain seperti Prasasti Kembangsore atau Mojojejer, juga Prasasti Jiyu, 1486M. Jadi tidak heran jika sekarang Prasasti Kamalagyan berada di Dukuh Klagen, Tropodo, Krian, Sidoarjo.
Analisa yang menguatkan bahwa prasasti Kamalagyan bukan jenis prasasti in situ atau sudah berpindah dari tempat semula dapat dilihat dari penyebutan nama-nama daerah seperti Kamalagyan, Waringin Sapta, Kakalangan, Kala, Kalagyan, dan Kamulan dalam prasasti Kamalagyan. Sementara prasasti Baru, 28 April 1030M, dan prasasti Kamulan1194M, prasasti Waringin Pitu 1447M juga menulis nama-nama tersebut. Kamulan Parhyanan kelak berubah menjadi Desa Kamulan, berbatasan dengan desa Baru atau Baruharjo, kecamatan Durenan, Trenggalek, berbatasan langsung dengan Tulungagung. Kakalangan, Kala, nama kuna desa Kalangbret, Tulungagung. Kalagyan, nama kuna dusun Kelagen, Kecamatan Karangrejo, Tulungagung. Waringin Sapta atau Wringin Pitu sekarang berganti menjadi desa Ringin Pitu. Letaknya tidak jauh di selatan sungai Brantas Tulungagung. Disimpulkan prasasti kamalagyan dikeluarkan Erlangga untuk suatu daerah di Brang Kidul Tulungagung yang pada masa itu dipimpin ratu Tulodong.
Berdasarkan prasasti Kamalagyan tahun 1037M, Prabhu Erlangga sepenuhnya berhasil menaklukkan Jawatimur, menguasai kerajaan-kerajaan lain, seperti seperti Wura-Wari, Wengker, Hasin, Lodoyong, Wuratan, dan Lewa. Prabhu Erlangga pada tahun itu bersemayam di keraton Kahuripan, menjadi maharaja Medang bergelar Sri Maharaja Rake halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Erlangganama Prasadottunggadewa. Sang Prabhu didampingi Rakryan Kanuruhan Mpu Narottama.
Prabu Erlangga memiliki dua istri, permaisuri dan selir. Dari permaisuri, menurunkan Dewi Kilisuci atau Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi dan Lembu Amiluhur atau Mapanji Samarawijaya. Sementara dari selir, menurunkan Lembu Amerdadu atau Mapanji Garasakan, dan Lembu Pangarang atau Mapanji Alanjung Ahyes.
Seluruh putra Prabhu Erlangga ketika itu ditempatkan di keraton masing-masing. Dewi Kilisuci sebagai putri mahkota menempati keraton Kadiri di barat sungai Brantas. Samarawijaya menempati keraton Daha di timur sungai Brantas. Mapanji Garasakan menempati keraton di timur gunung Kawi. Mapanji Alanjung Ahyes diperkirakan menempati keraton Hasin.
Pada masa itu putri mahkota Dewi Kilisuci belum menikah. Padahal usianya sudah cukup dewasa. Berdasarkan Babad Tanah Jawi, putri makhota Erlangga ini meninggalkan kehidupan keraton sebelum menikah, menjadi seorang petapa di goa Selamangleng, lereng timur gunung Wilis.
Dipastikan Sanggramawijaya atau Dewi Kilisuci melepas jabatan putri mahkota atau meninggalkan keraton Kediri antara sekitar 1037M sampai 1041M. Pada prasasti Kamalagyan bertarikh 1037M, namanya masih tercatat sebagai mahamentrihino. Sementara pada prasasti Pucangan bertarikh 1041M, mahamentrihino sudah berganti kepada Samarawijaya, adik kandungnya.
Pada tahun 1041M, Erlangga mengeluarkan prasasti Pucangan. Tak lama setelah itu, Erlangga memindah ibukota kerajaannya ke Daha. Dalam Prasasti Pamwatan, 20 Nopember 1042M, ibukota kerajaan Erlangga sudah di Dahana atau Daha. Negarakertagama juga menyebut Erlangga sebagai raja Panjalu Daha. Serat Calonarang, 1540M berulang-ulang menyebut Daha sebagai istana terakhir Erlangga. Jadi di akhir pemerintahannya, Erlangga adalah raja Medang bhumi Daha.
Belum dapat dipastikan latarbelakang mengapa Erlangga mendadak meninggalkan istana Kahuripan menuju Daha. Kesimpulan sementara yang dimajukan adalah setelah Dewi Kilisuci meninggalkan keraton Kediri bertapa di goa Selamangleng, putra mahkota Samarawijaya dipindah dari Daha ke Kediri, atau dari timur ke barat sungai Brantas, sementara Mapanji Alanjung Ahyes pindah ke Kahuripan, sedangkan Mapanji Garasakan tetap di timur gunung Kawi. Keberadaan Erlangga di keraton Daha juga memudahkan hubungan dengan putinya yang sudah bertapa di goa Selamangleng. Jarak antara keraton Daha dengan keraton Kediri atau goa Selamangleng hanya dibatasi sungai Brantas.
Berpindahnya pusat pemerintahan kerajaan Medang dari Kahuripan ke pedalaman Daha, membuat daerah sekitarnya semakin berkembang, termasuk Tulungagung atau pada waktu itu bernama Lodoyong. Setelah pembangunan bendungan Maharaja, pertanian di Tulungagung berkembang pesat, karena melimpahnya air untuk daerah pertanian padi. Sungai Brantas semakin ramai oleh kehadiran perahu-perahu dari arah pelabuhan Hujung Galuh menuju Daha atau Tulungagung. Keberadaan perahu-perahu besar yang melayari sungai Brantas kelak termuat pula dalam prasasti Jaring bertarikh 1181M.
Sampai kemudian Erlangga menghadapi persoalan besar, perebutan takhta antara kedua putranya, Mahamentri i Hino Sri Samarawijaya dengan Mahamentri i Sirikan Mapanji Garasakan. Sampai kemudian untuk memecahkan persoalan, Sri Erlangga memutuskan membelah negara demi kedua puteranya. Erlangga menyerahkan sepenuhnya pada Mpu Bharada.
Setelah mendapat wewenang khusus dari Erlangga, Mpu Bharada segera menjalankan tugas berusaha mendamaikan kedua putra Erlangga, mengunjunginya bergantian, menasihati supaya berhenti berperang. Dianjurkan keduanya sudi menerima bagian yang telah mereka kuasai masing-masing. Samarawijaya supaya tetap di barat sungai Brantas atau Kediri dan akan dinobatkan sebagai Maharaja Panjalu. Demikian pula Mapanji Garasakan yang berkuasa di timur gunung Kawi, supaya tetap menjadi raja di sana dan akan menguasai kerajaan yang diberi nama Jenggala. Sejak saat itu muncul dua wilayah kerajaan di barat dan timur gunung Kawi, Panjalu di barat, Jenggala di timur. Barangsiapa membangkang, akan dikutuk sang pandita. Keduanya tunduk dan berjanji mematuhi nasihat sang pandita.
Jadi pembelahan kerajaan itu maksudnya pembagian dua wilayah besar dengan garis batas dari utara ke selatan mengikuti lajur pegunungan Penanggungan ke selatan, terus menuju gunung Kawi, sampai selatan sungai Brantas. Dalam prasasti Mahaksyobhaya dan kakawin Negarakertagama, penentuan garis batas alam itu disimbolkan dengan pembuatan garis batas gaib melalui kisah pengucuran air kendi oleh Mpu Bharada. Meski kental nuansa dongeng, akan tetapi tidak menghilangkan kebenaran sejarah perihal kebijakan Erlangga membagi kekuasaan kepada Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Berikut terjemahan kakawin Negarakertagama pupuh 68:
“Inilah sejarah Kamal Pandak menurut tutur yang dapat dipercaya. Suatu ketika Sri Nata Panjalu Daha Maharaja Erlangga berkehendak membelah tanah Jawa lantaran cinta pada kedua putranya. Tersebutlah seorang pandita Boddha Mahayana yang putus dalam kitab tantra dan yoga, bermukim di tengah kuburan Lemah Tulis, sosok yang senantiasa menjadi pelindung rakyat, ketika mengunjungi pulau Bali hanya berjalan kaki, tenang menapak permukaan lautan. Mpu Bharada namanya, sosok yang paham tiga jaman. Girang beliau menyambut permohonan Maharaja Erlangga supaya membelah Negara. Maka perbatasan negara ditandai dengan air kendi yang mancur dari angkasa. Dari barat ke timur sampai lautan. Lalu dari utara ke selatan. Daerah selatan yang jaraknya tidak begitu jauh bagaikan terpisah samudera besar. Di daerah selatan itu sang pandita turun dari angkasa, berhenti di atas pohon kamal, berniat menaruh kendi suci di desa Palungan untuk mengakhiri penentuan garis batas kerajaan. Tetapi sebelum menginjak tanah, sang pandita murka lantaran jubahnya terkait puncak pohon kamal yang tumbuh menjulang tinggi. Mpu Barada terbang ke angkasa lagi lalu mengutuk pohon kamal menjadi pandak atau kerdil. Itulah tugu batas gaib yang tidak boleh dimasuki kekuasaan Panjalu dan Jenggala. Itulah sebab mengapa sekarang dibangun candi. Tujuannya supaya menyatukan tanah Jawa kembali. Dengan demikian semoga baginda prabu serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada, Berjaya memimpin negara yang kini sudah kembali bersatu-padu”.
Dalam pupuh selanjutnya Prapanca menyebutkan candi yang dibangun di Kamal Pandak bernama candi Prajnaparamitapuri atau candi Wisesapura, candi makam bagi sang Rajapatni dyah Gayatri. Candi makam di Bhayalangu Tulungagung ini sohor sebagai tempat keramat, tiap bulan badrapada disekar para pembesar kerajaan dan para pandita.
Dongeng tersangkutnya jubah Mpu Barada pada pohon asem alas atau pohon kamal mengandung arti Mpu Barada mendapat rintangan besar ketika melakukan pembelahan Negara, sehingga tugasnya tidak sempurna. Ada sebuah daerah yang tidak berhasil dijangkau atau tidak mau tunduk pada kekuasaan Panjalu maupun Jenggala. Karena itu Mpu Barada yang hampir selesai menentukan daerah-daerah mana saja yang masuk kekuasaan Panjalu dan daerah-daerah mana yang masuk wilayah Jenggala, menjadi murka pada penolakan penguasa daerah brang kidul yang ingin merdeka. Padahal daerah itu digolongkan sebagai daerah berkedudukan lebih rendah dari daerah sekitar, dilambangkan sebagai daerah palungan atau cekungan. Daerah itu memutuskan berdiri sendiri, serupa menjulangnya pohon kamal di tanah cekungan melebihi ketinggian pohon-pohon lain di tanah lebih tinggi. Daerah palungan melawan kekuatan atau kehendak Mpu Barada. Meski demikian perselisihan dapat diselesaikan dengan kesepakatan dua belah pihak, bahwa sejak saat itu brang kidul menjadi daerah merdeka, dengan syarat harus menghormati kekuasaan Panjalu dan Jenggala. Sang pandita mengabarkan kemerdekaan brang kidul ibarat tugu gaib ujung batas sebelah selatan yang tidak boleh dilintasi Panjalu dan Jenggala.
Demikianlah, pembelahan negara yang dilakukan Mpu Barada berjalan kurang sempurna. Ada satu daerah di selatan sungai Brantas yang berdiri sendiri, tidak termasuk bagian Panjalu yang dipimpin Samarawijaya, maupun Jenggala yang dirajai Mapanji Garasakan. Daerah merdeka itu adalah Lodoyong yang sekarang menjadi Tulungagung.
* * *
Tulungagung Masa kerajaan Panjalu Dan Jenggala
AKAN tetapi pembelahan kerajaan Erlangga justru menimbulkan sikap saling menaklukkan antara Panjalu dan Janggala. Masing-masing berkeinginan menjadi penguasa tunggal di tanah Jawa. Pada awalnya Jenggala unggul. Yang berkuasa di Jenggala setelah masa Erlangga adalah Sri Maharaja Mapanji Garasakan, Sri Maharaja Mapanji Alanjung Ahyes dan. Sri Maharaja Rake Halu Pu Juru Samarotsaha. Sementara di Panjalu antara lain Sri Samarawijaya, Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu, Sri Bameswara Sakalabhuwana, dan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya. Pada masa Sri Jayabaya, dengan semboyan Panjalu Jayati alias Panjalu Menang, Panjalu unggul atas Jenggala. Berita kemenangan besar itu diceritakan dalam prasasti Ngantang.
Akan tetapi setelah Jayabaya wafat akibat pemberontakan Rake Sirikan Sri Sarweswara pada 1159M, tanah Jawa kembali bergolak, Panjalu dan Jenggala kembali berseteru. Kemelut perebutan tahta di Panjalu membikin keturunan Jenggala tergugah bangkit melepaskan diri dari kekuasaan Panjalu. Jenggala tetap memusatkan kekuatannya di timur gunung Kawi, Kutaraja.
Sementara itu pusat pemerintahan Lodoyong yang sebelumnya berada di daerah Junjung, Sumbergempol, Tulungagung, sejak masa Jayabaya telah bergeser ke timur di daerah Lodoyo. Pada akhir pemerintahan Jayabhaya di Panjalu Daha, wilayah Lodoyong pecah menjadi dua, di timur dan barat sungai Jimbe. Daerah Lodoyong bagian timur kelak bernama Lodaya, sementara daerah Lodoyong bagian barat bernama Ngrawa karena sebagian besar wilayahnya berupa hamparan rawa. Wilayah Ngrawa mulai dari sungai Jimbe ke barat sampai Penampihan gunung Wilis. Daerah inilah yang kelak dikenal sebagai Lawadan atau menjadi wilayah Tulungagung sekarang.
Sri Jayabhaya memiliki dua putra, Sri Aryeswara dan Sri Sarweswara. Pada waktu Sri Jayabhaya bertahta, Sri Aryeswara menjabat sebagai mahamentri I hino, sementara Sri Sarweswara menjabat sebagai mahamentri I Sirikan. Keduanya termasuk kelompok mahamentri Katrini. Dalam kelompok ini, yang berposisi tertinggi adalah Rake Hino. Dan setelah Sri Jayabhaya wafat, Rake Sirikan Sri Sarweswara naik tahta secara tidak sah. Sampai kemudian pada 23 Maret 1171M, berdasarkan prasasti Angin, yang menjadi raja Panjalu adalah Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara setelah merebut tahta dari Sri Sarweswara.
Sri Aryeswara menurunkan Kroncaryadhipa, sementara Sarweswara menurunkan Kameswara dan Kertajaya. Setelah Aryeswara wafat, yang menjadi raja Panjalu adalah Kroncaryadhipa.
Pada 19 Nopember 1181M, Kroncaryadhipa mengeluarkan prasasti Jaring, mengambil gelar abhiseka Sri Maharaja Sri Kroncaryadipa Bhuwanapalaka Parakrama Anindita Digjaya Uttunggadewa Sri Gandra. Putra Aryeswara ini hanya bertahta sekitar 4 tahun. Pada 11 September 1185M, berdasarkan prasasti Ceker, digantikan putra sulung Sarweswara, yaitu Sri Maharaja Kameswara Triwikramawatara Aniwariwirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa.
Setelah Kameswara wafat, tahta Panjalu Daha ditempati oleh adiknya, Kertajaya bergelar Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.
Pada tahun 1190M, sri maharaja sri Sarweswara atau Kertajaya mengeluarkan anugerah sima perdikan kepada daerah Sapu Angin, desa Geger, Tulungagung, dan termuat dalam prasasti Sapu Angin.
Adanya prasasti Kertajaya di daerah Tulungagung bekas kerajaan Lodoyong, maka dapat dipastikan sejak saat itu Brang Kidul Tulungagung berubah status sebagai bagian dari wilayah kekuasaan kerajaan Panjalu Kadiri.
Naiknya Kertajaya sebagai maharaja Panjalu Kediri rupanya membuat suasana tanah Jawa kembali bergolak. Penyebabnya karena Kertajaya bukan putra mahkota Kameswara. Ketika Kameswara wafat, seharusnya yang mendaki tahta di Panjalu Kadiri adalah keturunan Kameswara dari Sasi Kirana. Itu artinya cucu raja Jenggala yang berhak naik tahta Panjalu Kadiri. Bukannya Kertajaya, adik Kameswara. Inilah yang memicu kemarahan pihak Jenggala di Kutaraja lalu menggempur Panjalu Kadiri. Raja Jenggala waktu itu adalah Sri Maharaja Girindra, ayah Sasi Kirana. Sri Maharaja Girindra juga memiliki putra selir yang dikenal Pararaton sebagai Ken Arok.
Pasukan Girindra Jenggala berhasil mendesak kekuatan Panjalu Kadiri. Raja Kertajaya mengungsi bersama pasukan pimpinan Senapati Tunggul Ametung menuju Katandan Sakapat Kalangbrat, Tulungagung. Secara tersirat peristiwa ini termuat dalam Prasasti Kamulan, 31 Agustus 1194M atau bulan Palguna, ketujuh, tahun saka 1116. Disebutkan dalam prasasti bahwa raja Kertajaya tersingkir dari istana Kadiri akibat serbuan musuh dari arah timur. Penyerbuan terjadi sebelum keluarnya Prasasti Kamulan.
Selama dalam pengungsian, Kertajaya menjadikan daerah Kalangbrat sebagai keraton sementara Panjalu. Bersama sisa pasukan dan para pandita serta segenap penduduk Katandan Sakapat Kalangbret, Senopati Tunggul Ametung giat menggalang kekuatan merencanakan serangan balik.
Menjelang bulan ketujuh 1194M. Setelah kekuatan terbangun kokoh, dengan semangat memberi pertolongan besar kepada Maharaja Kertajaya, Senapati Tunggul Ametung menderapkan pasukannya ke timur, menembus Alas Lodaya menuju Turen atau Turyantapada, terus berderap menggempur Kutaraja dan berhasil menaklukkan kerajaan yang menganut agama Siwa di timur gunung Kawi itu. Raja Jenggala Sang Girindra tersingkir dari Kutaraja bersama sisa pengikutnya.
Setelah kembali bertahta di Kadiri, Kertajaya berupaya mengembalikan ketentraman dan ketertiban negara. Kebijakan penting pertama, menetapkan daerah di timur gunung Kawi, daerah bekas pusat pemerintahan Janggala sebagai kadipaten amancanagara bernama Tumapel, berada dibawah kekuasaan Panjalu Daha. Ibukota Tumapel tetap di Kutaraja. Kertajaya menobatkan Senapati Tunggul Ametung sebagai penguasa pertama kadipaten amancanagara Tumapel. Kebijakan raja ini dikeluarkan sebagai penghargaan kepada Tunggul Ametung yang secara gemilang menunaikan tugas negara.
Dapat dikatakan Tumapel berdiri pada 1194M. Wilayah kekuasaannya membentang di timur gunung Kawi ke timur sampai gunung Brahma, berbatasan dengan Lumajang, ke utara berbatasan dengan Hering —Bangil Pamotan— ke selatan sampai daerah Turen atau Turyantapada. Di selatan sungai Brantas, di daerah Turen, berbatasan dengan Lodoyong.
Raja Kertajaya juga menetapkan daerah Katandan Sakapat dan sewilayahnya termasuk daerah Kamulan sebagai daerah perdikan atau swatantra, daerah istimewa yang dibebaskan dari segala pungutan pajak, daerah merdeka berpemerintahan sendiri yang kedudukannya langsung di bawah kekuasaan raja. Penganugerahan itu tertuang dalam piagam kerajaan yang kelak bernama prasasti Kamulan, 31 Agustus 1194M.
Prasasti Kamulan dikeluarkan Kertajaya setelah adanya permohonan dari para samya haji Katandan Sakapat yang telah ikut berjuang mengembalikan raja ke singgasana di Kediri akibat serbuan musuh dari timur. Prasasti ini memuat keterangan bahwa Samya Haji Katandan Sakapat berdatang sembah ke hadapan raja dengan perantaraan Pangalasan bernama Geng Adeg, menyampaikan bahwa pihaknya menyimpan rontal berisi keputusan raja yang telah dicandikan di Jawa, yaitu Haji Tumandah. Mereka mohon supaya keputusan itu dikukuhkan dalam bentuk prasasti batu yang mendapat cap kerajaan Kertajaya. Dan permohonan itu dikabulkan karena parasamya Haji Katandan sakapat telah memperlihatkan kesetiaan mereka terhadap raja sebagaimana layaknya sikap hamba raja. Mereka telah berhasil mengembalikan Kertajaya ke atas singgasana di Kadiri. Maka ditulislah prasasti di atas batu yang memuat perincian anugerah Sri Tumandah dan Sri Rajakula berupa hak-hak istimewa dan ditambah lagi anugerah dari Sri Raja Srengga berupa pemberian hak-hak istimewa.
Dari kronologis keluarnya prasasti Kamulan sebenarnya prasasti ini lebih diperuntukkan kepada daerah yang berada di wilayah kekuasaan Katandan Sakapat. Daerah ini sekarang bernama desa Ketandan, Kalangbret, Tulungagung. Dengan kata lain pada waktu dikeluarkannya prasasti oleh Kertajaya, daerah Kamulan dan sekitarnya masih termasuk wilayah Kalangbret Tulungagung. Sekarang penanggalan prasasti ini menjadi landasan penentuan harijadi kabupaten Trenggalek. Ini karena daerah Kamulan sudah masuk kabupaten Trenggalek.
Pada 27 Juni 1197M, raja Kertajaya mengeluarkan prasasti Palah yang sekarang berada di candi Penataran, Blitar.
Pada tanggal 5 suklapaksa bulan waisaka tahun 1122C atau 20 April 1200M, Kertajaya memberi anugerah sima perdikan kepada desa Panjer, termuat dalam piagam kerajaan bernama prasasti Galunggung. Prasasti ini sekarang berada di dukuh Wonokromo, desa Panjerejo, kecamatan Rejotangan, Tulungagung. terletak di areal pemakaman Islam. Prasasti ini terbuat dari batu berbahasa dan beraksara Jawakuna.
Dalam tahun 1200M diperkirakan Adipati Tunggul Ametung yang menganut Wisnu menikah dengan Ken Dedes, putri pandita Boddha Mahayana dari Panawijen Mpu Purwwawidada. Mpu Purwawidada sesungguhnya tidak merestui pernikahan putrinya dengan Tunggul Ametung lantaran penguasa Tumapel itu penganut Wisnu. Ken Dedes penganut Boddha dan Tunggul Ametung penganut Wisnu. Kaum pandita Boddha pada waktu itu cenderung menjadi pengikut keluarga Jenggala yang menganut agama Siwa. Di mata para pemuka agama Siwa di Tumapel, Tunggul Ametung dianggap sebagai kepanjangan tangan Kertajaya yang menganut Wisnu.
Pada saat Sri Girindra tersingkir dari istana, Ken Arok berusia sekitar 12 tahun. Setelah dewasa, mengetahui sejarah Jenggala, mengetahui ayahnya tersingkir dari istana akibat serbuan Tunggul Ametung. Setelah bertemu Pendeta Lohgawe, bertekad membalas kekalahan ayahnya.
Sampai kemudian terdorong keinginan kuat menjadi maharaja tanah Jawa, Ken Arok segera melancarkan aksinya, menyingkirkan pemegang kekuasaan Tumapel, Adipati Tunggul Ametung. Berdasarkan pembacaan prasasti Mula Malurung, 1255M, Tunggul Ametung didarmakan di Pager atau Pagerwojo, dengan candi bernama Narasingajaya.
Ken Arok menduduki Tumapel pada sekitar 1203M. Atau setahun setelah raja Panjalu Kediri Kertajaya kembali mengeluarkan anugerah sima perdikan kepada daerah di wilayah selatan sungai Brantas, dengan keluarnya prasasti Biri pada 29 Agustus 1202M. Sekarang daerah Biri dikenal sebagai Cuwiri, dekat Kalangbret, Tulungagung.
Pada tanggal 4 April 1204M, raja Kertajaya kembali mengeluarkan prasasti untuk menetapkan daerah Sumberingin Kidul sebagai tanah perdikan. Desa Sumberingin Kidul sekarang terletak di kecamatan Ngunut, Tulungagung.
Ken Arok mulai memimpin Tumapel pada usia 21 tahun. Pada awalnya masih berposisi sebagai penguasa kadipaten Tumapel, tetapi kemudian setelah cukup dukungan dari para pengikut maupun para pandita Siwa dan Boddha, pada awal tahun 1205M, Ken Arok memisahkan diri dari Panjalu, menjadi penguasa Tumapel yang merdeka dan mengambil gelar abhiseka Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi.
Beberapa bulan kemudian, masih pada 1205M, Ranggah Rajasa melancarkan serangan pertama ke Panjalu Kediri. Raja Kertajaya yang tidak menduga serangan itu terpaksa menyingkir ke selatan sungai Brantas, mendapat perlindungan seluruh penduduk bhumi Lawadan, Tulungagung. Sampai akhirnya Sri Kertajaya berhasil menduduki singgasana di istana Kediri setelah penduduk Lawadan memukul pasukan Ranggah Rajasa. Sebagai balas jasa atas segala pertolongan agung itu, raja Kertajaya menganugerahi desa atau thani Lawadan sebagai sima perdikan kerajaan Panjalu Kediri.
Daerah sima perdikan kerajaan adalah daerah merdeka mandiri yang berhak mengadakan pemerintahan sendiri, berhak memberlakukan hukum sendiri. Jika suatu daerah perdikan berada dalam wilayah suatu kadipaten atau keraton bawahan, daerah perdikan tetap tidak boleh mendapat campurtangan dalam persoalan apapun dari adipati maupun raja daerah. Boleh dibilang, meski dari segi kewilayahan hanya seluas desa atau dusun, tetapi daerah sima perdikan memiliki kedudukan hukum yang setara dengan kadipaten atau keraton bawahan, karena berada langsung di bawah kekuasaan raja. Dalam sejarah, daerah atau desa perdikan kerajaan memang mendapat perlakuan istimewa dan sangat dihormati raja yang berkuasa. Kedudukan itu berlaku untuk selamanya atau selama matahari dan rembulan menyinari dunia.
Bahwa keberadaan prasasti Lawadan memiliki catatan sejarah istimewa. Prasasti ini diawali mantra pujian terhadap dewa dimana hal ini tidak terdapat pada prasasti Kertajaya lainnya. Prasasti Lawadan memberikan keterangan bahwa penduduk desa Lawadan beserta daerah sewilayahnya telah menerima anugerah raja berupa pembebasan pajak dan penerimaan sejumlah hak-hak istimewa seperti melakukan kegiatan-kegiatan tertentu di depan umum, mengenakan jenis-jenis pakaian dan perhiasan tertentu, juga memakan makanan istimewa.
Prasasti ini juga menyebutkan bahwa penduduk Lawadan juga berhak memiliki rumah dengan ciri tertentu, memiliki tempat duduk, balai-balai, payung, serta tanaman di rumah mereka. Ini dapat dimaknai sebagai kebebasan daerah Lawadan membentuk pusat pemerintahan sendiri yang mandiri.
Prasasti Lawadan bertanda lancana raja yang mengeluarkan prasasti yaitu Kertajaya. Dalam prasasti inilah raja Panjalu Kadiri Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa, untuk pertama kalinya disebut dengan nama Kertajaya. Jadi nama Kertajaya baru muncul setelah keluarnya prasasti Lawadan tertanggal 18 Nopember 1205M. Sejak 2003, penanggalan prasasti Lawadan menjadi pedoman hari jadi kabupaten Tulungagung.
Sebagaimana telah diketahui, selama berkuasa di panjalu Kediri raja Kertajaya memberikan anugerah kepada enam daerah di Brang Kidul Tulungagung antara lain termuat dalam prasasti Sapu Angin, prasasti Kamulan, prasasti Galunggung, prasasti Biri, prasasti Sumberingin Kidul, dan prasasti Lawadan.
Bahwa penganugerahan tanah sima perdikan atau daerah merdeka mandiri berpemerintahan sendiri yang dikeluarkan raja Kertajaya kepada enam daerah atau desa di selatan Brantas dimana lima desa itu kini masuk kabupaten Tulungagung, yaitu desa Geger, Panjerejo, Cuwiri, Sumberingin Kidul, dan Lawadan, merupakan balas jasa kerajaan Panjalu Kadiri kepada para penduduk Brang Kidul Tulungagung yang telah berjuang memberikan pertolongan agung.
Enam prasasti Kertajaya yang ditemukan di Tulungagung, terutama sekali keberadaan prasasti Lawadan, menjadi bukti sejarah yang sangat kuat untuk menunjukkan bahwa Tulungagung adalah subyek atau pihak yang memberikan pertolongan agung pada daerah lain, dalam hal ini berjasa besar mengembalikan tahta raja Kertajaya ke istana Panjalu di Kadiri. Jadi posisi Tulungagung bukan sebagai pihak yang menerima pertolongan agung sebagaimana pemahaman selama ini. Kembali menengok sejarah penyerbuan Ranggah Rajasa atas Kertajaya.
Meski serbuan pertama gagal menjungkalkan Kertajaya, Ranggah Rajasa tidak menghentikan upayanya menaklukkan Panjalu Kediri. Sejak 1205M, kekuatan Tumapel yang merupakan bentuk baru kerajaan Jenggala bangkit mengemuka gigih menenggelamkan Panjalu Daha. Tumapel mengokohkan kekuatan di timur gunung Kawi, menaklukkan beberapa kerajaan yang dulu pernah menjadi bawahan Jenggala, seperti Lumajang, Hering atau Pamotan, dan Madura.
Sampai 1210M, para putra Ranggah Rajasa sudah lahir baik dari permaisuri Ken Dedes maupun selir Ken Umang. Dari permaisuri Ken Dedes, Ranggah Rajasa menurunkan Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Guning Bhaya, dan Dewi Rimbi. Sementara dari Ken Umang, Ranggah Rajasa menurunkan Panji Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wregola, dan Dewi Rimbu.
Selama 17 tahun Panjalu dan Tumapel bersaing menjadi penguasa tunggal di tanah Jawa. Keduanya kerap melangsungkan pertempuran berupaya saling menaklukkan.
Pada 1222M, pasukan Siwa dan Boddha pimpinan Ranggah Rajasa bergerak bagai banjir bandang melintasi pegunungan Kawi, menyeberangi sungai Leksa, melintasi lembah gunung Kelud berderap di utara sungai Brantas dan di padang Ganter atau sekarang kecamatan Nganteru, Tulungagung, bertemu pasukan Panjalu Kediri yang menganut Wisnu. Kekuatan Siwa dan Boddha bersatu hantam kekuatan Wisnu. Pasukan besar Tumapel berhasil mendesak mundur kekuatan Panjalu. Istana Kertajaya jatuh ke tangan Ranggah Rajasa sang putra Girindra.
Pararaton mengisahkan Kertajaya mengungsi ke alam dewata, bergantung-gantung di angkasa, besarta dengan kuda, pembawa payung, dan pembawa tempat sirih, tempat air minum, tikar, semua naik ke angkasa. Berita Pararaton ini dapat dimaknai bahwa Kretajaya mengungsi bersama pengikut setianya dengan bekal lengkap ke sebuah tempat tinggi dan suci, tempat para orang mulia, tempat para petapa dan pandita yang tentu saja dekat dan bersetia kepada raja.
Sebelumnya, pada 1194M, Kertajaya pernah dilindungi penduduk Brang Kidul Tulungagung yaitu Katandan Sakapat Kalangbret Kamulan. Pada 1205 Kertajaya juga pernah mengungsi ke Lawadan. Dan berdasarkan pembacaan Pararaton, diperkirakan pada 1222M, raja Kertajaya beserta beberapa anggota keluarga dan sisa pengikutnya menyingkir ke Penampihan, Tulungagung, yang pada waktu itu lama terkenal sebagai tempat parahiyangan atau pusat pertapaan dan pendidikan ilmu agama di lereng gunung Wilis.
Jadi daerah Tulungagung pada tahun 1222M kembali memberikan pertolongan agung kepada maharaja Kertajaya yang menyingkir ke Penampihan. Bagaimana keadaan Tulungagung masa Ken Arok, tidak banyak terbaca, apakah masuk wilayah kekuasaan Tumapel atau tidak. Yang dapat dipastikan adalah bahwa Ken Arok tidak pernah memberikan anugerah perdikan dalam bentuk prasasti di wilayah brang Kidul Tulungagung. Berdasarkan bukti sejarah bahwa Ranggah Rajasa tidak merusak atau menghancurkan enam prasasti yang dikeluarkan Kertajaya di Brang Kidul Tulungagung, dapat disimpulkan pada waktu bertahta di Tumapel, Ranggah Rajasa Ken Arok sangat menghormati keberadaan Lawadan Tulungagung sebagai salah satu daerah istimewa.
* * *
Tulungagung Masa Kerajaan Tumapel Singasari
SETELAH Ranggah Rajasa wafat, Tumapel pecah menjadi Panjalu dan Jenggala. Panjalu ditempati Mahisa Wonga Teleng dan Jenggala ditempati Anusapati. Anusapati dan Mahisa Wonga Teleng hidup rukun memimpin kerajaannya masing-masing, tanpa keinginan menaklukkan satu sama lain. Keadaan tenteram tersebut tidak lepas dari peran sang ibu suri Ken Dedes. Bagaimanapun, Anusapati dan Mahisa Wonga Teleng adalah putra kandung Ken Dedes.
Keberadaan Tulungagung pada masa pararaja Tumapel atau Singhasari terutama terbaca dalam prasasti Mula Malurung yang dikeluarkan raja Seminingrat pada tahun 1255M dan pada prasasti Penampihan yang dikeluarkan Kertanegara pada tahun 1269M. Dalam prasasti Mula Malurung menyebutkan daerah Kalangbret sebagai tempat pendarmaan Batara Parameswara Mahisa Wonga Teleng. Ia adalah putra sulung pasangan Ken Arok dan Ken Dedes. Mahisa Wonga Teleng adalah raja Panjalu Daha yang memerintah sejak tahun 1227M sampai 1248M.
Ketika bertahta di Panjalu Daha, Mahisa Wonga Teleng dikenal sebagai sosok yang sangat dekat dengan masyarakat maupun para pemuka agama baik agama Siwa Boddha maupun Wisnu. Lantaran kedekatannya dengan para penganut berbagai agama, sebagaimana termuat dalam Prasasti Mula Malurung, Mahisa Wonga Teleng dikenal sebagai adiguru para kesatria yang sangat dihormati di tanah Jawa. Mahisa Wonga Teleng wafat dan mendapat gelar anumerta Batara Parameswara dan didarmakan di Kalangbret, Tulungagung. Pemilihan daerah Kalangbret sebagai tempat pendarmaan maharaja Panjalu Daha Mahisa Wonga Teleng menunjukkan bahwa Tulungagung pada waktu itu memiliki kedudukan sangat terhormat.
Mahisa Wonga Teleng menurunkan Waning Hyun, Panji Anengah dan Mahisa Cempaka atau Narasingamurti. Waning Hyun menjadi permaisuri Seminingrat. Setelah Mahisa Wonga Teleng wafat, tahta Panjalu Daha diteruskan oleh adiknya, Guning Bhaya. Adik kandung Mahisa Wonga Teleng itu tidak sampai setahun bertahta karena tahta direbut oleh Tohjaya, putra Ken Arok dari istri selir. Tohjaya berkuasa selama dua tahun lalu digantikan Mahisa Cempaka pada tahun 1250M. Berdasarkan pembacaan serat Pararaton, Tohjaya, raja Daha, putra Ken Arok dari Ken Umang, didarmakan di Katang Lumbang, daerah Kalangbrat.
Pada tahun 1254M, Narasingamurti melakukan kesepakatan dengan Seminingrat untuk membangun pemerintahan bersama di Tumapel. Sementara itu tahta Panjalu Daha diserahkan kepada Kertanegara. Setahun setelah penobatan Sri Kertanagara sebagai raja muda di Daha, Seminingrat mengukuhkan anugerah sima perdikan atas desa Mula dan Malurung yang sebelumnya telah pula ditetapkan Mahisa Wonga Teleng. Penetapan sima perdikan dua desa di utara ibukota Daha itu diberikan kepada Sang Pranaraja sebagai bentuk penghargaan atas segala jasa besarnya kepada negara terutama kepada keturunan Ranggah Rajasa. Karena belum dikukuhkan dalam piagam kerajaan semasa pemerintahan Mahisa Wonga Teleng, maka Mapanji Seminingrat yang memang sangat berhutang budi pada Sang Pranaraja segera mengeluarkan pengukuhan itu dan melimpahkannya kepada Sri Kertanagara karena yang sedang menjadi penguasa di daerah Panjalu Daha adalah Kertanagara. Pengukuhan itu ditulis dalam prasasti yang kelak dikenal sebagai prasasti Mula Malurung, 1255M.
Perhatian Seminingrat terhadap daerah di Tulungagung tidak hanya penetapan Kalangbret sebagai tempat pendarmaan Batara Parameswara. Selain itu maharaja Seminingrat juga memerintahkan Kertanegara dibantu Pranaraja untuk menjaga candi makam di Thani Bala, Kalang, Kalagyan, dan Kamulan, empat nama daerah ini berada di wilayah Tulungagung. Thani Bala artinya desa Bala, sekarang dikenal sebagai Bolo atau Bolorejo, kecamatan Kauman, Tulungagung. Kalang merupakan nama lain Kalangbret. Kalagyan sekarang berubah menjadi dusun Klagen, di wilayah kecamatan Karangrejo. Sedang Kamulan, sekarang terletak di kecamatan Durenan, Trenggalek yang dulu menjadi wilayah Tulungagung.
Berdasarkan catatan sejarah ternyata Tulungagung pada masa kerajaan Tumapel Singasari menjadi tempat utama bagi pendarmaan pararaja keturunan Ken Dedes, baik dari Ken Arok maupun Tunggul Ametung. Berdasarkan pembacaan prasasti Mula Malurung, Tunggul Ametung didarmakan di Pager atau Pagerwojo, dengan candi bernama Narasingajaya. Kemudian Mahisa Wonga Teleng didarmakan di Kalangbrat. Berdasarkan pembacaan serat Pararaton, Tohjaya, raja Daha, putra Ken Arok dari Ken Umang, didarmakan di Katang Lumbang, daerah Kalangbrat.
Dan setelah menjadi raja Singasari, Kertanagara juga memiliki hubungan sangat erat dengan tokoh Penampihan, Sang Hyang Sarwwa Dharma. Tokoh ini yang pada 1269M mendapat anugerah sima perdikan dari Sri Kertanagara. Ketika itu Kertanegara masih sebagai yuwaraja di Panjalu Daha. Dalam prasasti gunung Wilis 1269M menyebutkan daerah Penampihan yang dikuasai Sang Hyang Sarwwa Dharma, tidak lagi menjadi bagian wilayah Lawadan. Ini artinya sebelum itu daerah Lawadan meliputi dan menjangkau gunung wilis Penampihan.
Ketika Kertanegara menjadi maharaja di Singasari, diperkirakan Tulungagung adalah daerah setingkat kadipaten bukan kabupaten. Kadipaten dipimpin seorang adipati berada langsung dibawah raja Negara sementara kabupaten dipimpin bupati berada di bawah raja daerah. Ini artinya Tulungagung ketika itu berada langsung di bawah kekuasaan raja Tumapel Singasari, bukan Panjalu Daha Kediri.
* * *
Tulungagung masa Kerajaan Majapahit
Peran Tulungagung pada masa Majapahit terbilang sangat penting karena dianggap sebagai tanah leluhur pararaja Girindra. Tidak heran jika beberapa tokoh penting Majapahit didarmakan di brang kidul Tulungagung. Tercatat pendiri Majapahit kertarajasa Jayawardhana raden Wijaya didarmakan di Simping. Pada waktu itu daerah Simping belum masuk kabupaten Blitar.
Menurut Babad Tanah Jawi pendiri Majapahit adalah Jaka Sesuruh. Prasasti Kudadu 11 September 1294M menyebut sebagai Nararya Sanggramawijaya. Pararaton menulis raden Wijaya. Negarakertagama menyebut dyah Wijaya. Empat sumber ini sebenarnya menunjuk satu tokoh bernama asli Wijaya, putra sang Perwira Yudha dyah Lembu Tal.
Yang menarik penyebutan Wijaya sebagai Jaka Sesuruh. Ini tanda yang harus diterjemahkan. Jaka artinya pemuda. ‘Sesuruh’ artinya tempat atau daerah yang banyak tumbuhan ‘suruh’ atau sirih. ‘Suruh’ bukan berarti ‘perintah’. Ini kata Jawa untuk daun sirih. Jaka Sesuruh dapat dimaknai pemuda yang lahir dari daerah —entah gunung, bukit atau tempat lain— yang banyak ditumbuhi tanaman suruh. Meski ada beberapa daerah mengandung nama ‘suruh’, tetapi yang lebih meyakinkan adalah tempat di Brang Kidul.
Di selatan sungai Brantas terdapat daerah bernama Suruhwadang. Setelah wafat, Jaka Sesuruh atau raden Wijaya selain di Antapura, juga didharmakan di Simping, desa Sumberjati, kecamatan Suruhwadang, Blitar. Jaman Majapahit dan era sebelumnya, daerah ini belum masuk Blitar. Blitar di utara sungai Brantas. Daerah Suruhwadang merupakan tempat kelahiran Nararya Sanggramawijaya. Karena itu pengarang babad Tanah Jawi menulis sebagai Jaka Sesuruh. Mengapa raden Wijaya harus jauh-jauh didharmakan di selatan Brantas, sekarang mendapat jawaban. Semasih hidup, pendiri Majapahit ini menginginkan didharmakan di tanah asal. Sudah menjadi tradisi sejak lama jika seseorang sedapat mungkin dimakamkan di tempat kelahirannya, menyatu dengan tanah leluhur.
Peran Tulungagung masa Majapahit kembali mengemuka ketika pada tahun 1331M, salah satu permaisuri Raden Wijaya yaitu maharajapatni dyah Gayatri meninggalkan keraton menuju mandala Pacira. Meski yang bertahta di Majapahit ketika itu adalah putrinya, tetapi kedudukan maharajapatni dyah Gayatri tetap ditempatkan sebagai sesepuh keraton yang sangat dihormati semua pihak, memiliki kewibawaan dan pengaruh yang sangat besar. Dengan demikian keberadaan Brang Kidul Tulungagung menjadi sangat penting. Keluarga istana kerap berkunjung ke Tulungagung. Selain menjenguk Gayatri, mereka juga mengunjungi tempat pendarmaan raden Wijaya di Simping. Daerah Simping, persis di timur mandala Pacira atau Pasir. Sekarang Pacira dikenal sebagai dukuh Pasir, desa Junjung, kecamatan Sumbergempol, Tulungagung, berada di lereng utara pegunungan Walikukun.
Selain Penampihan, Tulungagung masa Majapahit juga punya pusat pendidikan agama di Mandala Pacira atau Pasir. Gayatri menganut agama Boddha, karenanya sangat mungkin pada jaman Majapahit mandala Pacira merupakan tempat pendidikan para calon bhiksu dan bhiksuni. Tempat ini terdiri dari dua bagian, yaitu terdapat bagunan yang berfungsi sebagai tempat pertapaan dan bangunan mandala atau kadewaguruan.
Pada tahun 1350M, maharajapatni dyah Gayatri wafat. Selama ini belum diketahui secara pasti tempat perabuan Rajapatni dyah Gayatri. Sementara di Tulungagung terdapat candi di puncak sebuah bukit di pegunungan Walikukun, persisnya di dusun Kedungjalin, desa Junjung, Sumbergempol, Tulungagung, dikenal sebagai candi Dadi. Candi Dadi tepat di barat situs goa Pasir, jaraknya tidak begitu jauh, masih wilayah desa Junjung.
Situs candi Dadi yang terletak di ketinggian 360 meter di atas permukaan laut itu berbentuk bujur sangkar, panjang 14 m, lebar 14 m, dan tinggi 6,5 m. Merupakan candi tunggal, tidak memiliki tangga masuk, hiasan relief, maupun peninggalan berupa arca. Bangunan candi berbahan batuan andesit, terdiri atas batur dan kaki candi. Bagian atas batur merupakan kaki candi berdenah segi delapan, pada permukaan tampak bekas tembok berpenampang bulat seperti sumuran berdiameter 3,35m, kedalaman 3 m. Di areal situs candi Dadi terdapat beberapa peninggalan yang dikenal sebagai candi Urung, candi Buto, dan candi Gemali. Candi-candi tersebut hanya berupa gundukkan bebatuan andesit. Dari bahan bangunan batuan andesit ini, dapat diperkirakan situs candi Dadi sudah ada sebelum jaman Majapahit. Kebanyakan bangunan peninggalan jaman Majapahit menggunakan batu bata merah seperti situs candi Gayatri dan candi Mirigambar. Menurut penelitian Stutterheim, candi Dadi tergolong candi menara yang berfungsi sebagai pembakaran mayat.
Kemudian di barat laut candi Dadi, terdapat candi berbahan batu andesit yang dikenal sebagai candi Cungkup. Jaraknya juga tidak begitu jauh. Candi ini terletak di desa Sanggrahan, kecamatan Boyolangu, Tulungagung. karena itu dikenal pula sebagai candi Sanggrahan. Bentuk bangunan utama candi masih cukup baik, hanya pada bagian atasnya sudah lenyap.
Candi Cungkup atau Sanggrahan dikelilingi dinding batu bata, berhalaman luas. Posisi candi menghadap barat, pada dinding candi bagian bawah terdapat hiasan berupa relief-relief aneka hewan. Di bagian timur candi terdapat bekas bangunan terbuat dari batu bata dan saluran air. Sementara pada halaman candi pernah ditemukan beberapa arca Boddha, sehingga dapat disimpulkan merupakan bangunan peninggalan agama Boddha. Tidak ditemukan angka tahun di sekitar areal candi Cungkup. Beberapa sejarawan menduga candi Cungkup merupakan peninggalan jaman Majapahit, berdasarkan bekas bangunan di bagian pintu gerbang dan di belakang candi serta bangunan dinding areal candi yang terbuat dari batu bata. Akan tetapi jika melihat bangunan candi utama yang terbuat dari batu andesit, sangat mungkin candi Cungkup sudah dibangun sebelum jaman Majapahit. Dugaan yang lebih masuk akal, areal candi Cungkup dibangun pada dua masa berbeda.
Lalu di barat candi Sanggrahan adalah candi Boyolangu, tempat pendarmaan maharajapatni dyah Gayatri. Jaraknya agak jauh. Pupuh 74 bait 1 menulis:Makam rani: Kamal Pandak, Sagala, Simping, Sri Ranggapura serta candi Budi Kuncir, bangunan baru Prajnyaparamitapuri di Bayalangu yang baru saja dibangun. Kakawin Negarakertagama selesai ditulis pada tahun 1365M. Dengan demikian dapat disimpulkan candi Bayalangu selesai dibangun pada tahun 1365M.
Melihat kedudukannya yang berdekatan, bangunan situs goa Pasir, candi Dadi, candi Sanggrahan, dan candi Boyolangu, sesungguhnya sangat berhubungan, terkait Rajapatni dyah Gayatri. Empat situs tersebut membentuk kesatuan dengan fungsi berbeda.
Sangat mungkin maharajapatni dyah Gayatri, setelah wafat tidak dibawa ke Majapahit, tetapi langsung diperabukan di Tulungagung, yaitu di candi Dadi. Ini berdasarkan analisa Stutterheim yang menyebutkan fungsi candi Dadi sebagai tempat pembakaran mayat sebagaimana fungsi candi Berahu di Trowulan. Melihat kedudukannya yang berada di ketinggian puncak bukit, candi Dadi jelas bukan untuk tempat perabuan penduduk biasa, melainkan digunakan khusus untuk para tokoh utama yang sangat dihormati, salah satunya Rajapatni dyah Gayatri.
Sementara itu kedudukan candi Sanggrahan, sebagaimana namanya, merupakan tempat untuk mesanggrah rombongan istana yang mengikuti prosesi perabuan Rajapatni dyah Gayatri di candi Dadi. Rombongan Majapahit mendirikan perkemahan di areal candi Sanggrahan yang memang berhalaman luas, berpagar keliling dan terdapat saluran air. Dan ketika abu jenazah Rajapatni dyah Gayatri ditanam di Boyolangu, rombongan istana juga menggunakan candi Sanggrahan sebagai tempat mesanggrah atau berkemah karena pada waktu itu lokasi wilayah antara candi Sanggrahan dengan Boyolangu merupakan daerah rawa. Untuk menuju candi Boyolangu harus menaiki perahu. Begitu pula ketika berjiarah ke candi Boyolangu, rombongan istana mesanggrah di candi Cungkup.
Setelah ibunya wafat, Tribhuwanatunggadewi turun tahta dan menyerahkan kekuasaan Majapahit kepada putra sulungnya, Hayam Wuruk.
Rajasanegara dyah Hayam Wuruk naik tahta Majapahit pada tahun 1350M ketika usia 16 tahun. Pada awal pemerintahannya, Hayam Wuruk dalam menentukan kebijakan negara masih bergantung pada ibundanya, ratu Kahuripan Tribhuwana Tunggadewi dan mahapatih Gajahmada. Dan boleh dibilang, ketika itu yang paling berkuasa sesungguhnya mahapatih Gajahmada.
Keberadaan sejarah Tulungagung pada masa Majapahit dibawah pimpinan Hayam Wuruk antaralain terbaca dari banyaknya desa atau daerah yang tertulis dalam kakawin Negarakertagama sebagai tempat penting dan dihormati Negara.
Pupuh 73/3, 74/1 dan 2 kakawin Negarakertagama menulis 27 makam raja yang pada tahun saka 1287/1365M sudah dijaga petugas pengawas atas perintah raja dan sudah berprasasti diantaranya menyebut makam raja di Tudan [Tiudan], Kalangbrat, Lumbang, Pager [Pagerwojo], Simping, dan Bhayalangu.
Pupuh 76/3 kakawin Negarakertagama menyebut desa Jarak sebagai desa perdikan kasogatan yang bebas pajak. Jarak merupakan nama kuna dari desa Jarakan, kecamatan Gondang. Daerah ini satu jalur dengan Bolorejo dan Baru.
Pupuh 77/2 menyebut Balamasin sebagai desa Kebudaan Bajradara yang berprasasti. Balamasin merupakan nama kuna untuk desa Bolorejo, kecamatan Kauman.
Pupuh 78 bait 3 menerangkan desa Baru sebagai daerah perdikan Budha yang utama. Desa ini dalam kakawin Negarakertagama disebutkan tidak memiliki bangunan candi. Desa Baru kini bernama Baruharjo, kecamatan Durenan, Trenggalek.
Pupuh 78/7 kakawin Negarakertagama juga menyebut adanya mandala atau caturasrama Pacira. Ini merupakan nama lain dari mandala Pasir, Junjung, Sumbergempol, Tulungagung.
Kakawin Negarakertagama menulis pada waktu Hayam Wuruk akan membangun candi pendarmaan maharajapatni dyah Gayatri di Boyolangu Tulungagung, sebelumnya telah mendapat keijinan dari seorang tokoh bernama Demung Bhoja. Diperkirakan tokoh ini merupakan kerabat atau salah satu paman sri Hayam Wuruk yang ditempatkan sebagai penguasa daerah Brang Kidul Tulungagung. Dari pembacaan Negarakertagama kuat dugaan Demung Bhoja adalah penguasa wilayah Brang Kidul yang mengijinkan daerah Bhoyolangu tanahnya diambil Negara sebagai tempat pendarmaan kerajaan.
Keberadaan Tulungagung masa Majapahit ketika Hayam Wuruk berkuasa juga terbaca dalam prasasti Trawulan I bertarikh 1358M. Dalam prasasti yang dikeluarkan raja Hayam Wuruk menyebutkan Waringin Pitu atau sekarang bernama desa Ringin Pitu, kecamatan Kedungwaru, Tulungagung, sebagai salah satu pelabuhan penyeberangan sungai yang sangat penting di Majapahit. Kedudukan ini terkait dengan pembangunan tempat pendarmaan maharajapatni Dyah Gayatri di Bayalangu. Berdasarkan Negarakertagama pupuh 74 bait 1, pembangunan tempat pendarmaan Prajnaparamitapuri di Bhayalangu selesai pada tahun 1365M. Negarakertagama menyebutkan, setiap bulan Badrapadha, rombongan raja dan istana berkunjung ke Bayalangu. Rombongan ziarah itu dipastikan melalui pelabuhan penyeberangan sungai Brantas di Waringin Pitu.
Berdasarkan prasasti Trawulan I, Hayam Wuruk juga melindungi keberadaan jembatan penyeberangan sungai Ngrowo di desa Madanten atau Majan, karena terdapat pelabuhan penyeberangan atau penambangan yang cukup penting, menjadi jalur utama dari arah Wengker. Rombongan dari keraton Wengker, ketika hendak menuju Boyolangu berjiarah ke candi makam maharajapatni dyah Gayatri, harus melalui penyeberangan sungai Ngrowo di desa Madanten, sekarang bernama Majan, Kauman, Tulungagung. Karenanya desa ini mendapat perlindungan raja Hayam Wuruk.
Pada tahun 1386M ayah Hayam Wuruk yaitu baginda Tumapel I Batara Parameswara Kertawardhana wafat atau mokta ring sunyalaya. Berdasarkan prasasti Wijaya Parakrama Wardhana 1447M, baginda Tumapel Kertawardhana dikenal pula sebagai baginda Parameswara sang Mokta Ring Sunyalaya dan didarmakan di Waringin Pitu, Tulungagung dengan candi pendarmaannya bernama Rajasakusumapura.
Hayam Wuruk wafat pada tahun 1389M dan tahta Majapahit selanjutnya diduduki oleh sang menantu yaitu Wikramawardhana, putra sulung pasangan ratu Pajang I dyah Nertaja dan brhe Paguhan I raden Sumana. Dyah Nertaja merupakan adik kandung Hayam Wuruk. Jadi Wikramawardhana masih keponakannya. Wikramawardhana juga termasuk cucu buyut maharajapatni dyah Gayatri.
Maharaja Wikramawardhana memiliki putra mahkota bernama Rajasa Kusuma. Pada tahun 1398M, rajasa Kusuma yang memiliki kekuasaan cukup berpengaruh di Majapahit mendesak ayahnya mengangkat Gajah Manguri sebagai mahapatih Majapahit menggantikan Gajah Enggon. Pada waktu itu Rajasakusuma juga berjuang meneruskan cita-cita neneknya, ratu Pajang dyah Nirtaja yang berkeinginan mengukuhkan penetapan dharma perdikan Waringin Pitu, Tulungagung, dalam bentuk penulisan prasasti kerajaan.
Daerah Waringin Pitu merupakan tempat pendarmaan baginda Parameswara Kertawardhana, suami maharani Tribhuwanatunggadewi, ayah kandung Hayam Wuruk dan dyah Nirtaja. Setelah ayahnya didarmakan di Waringin Pitu, dyah Nirtaja menetapkan daerah Waringin Pitu sebagai dharma sima perdikan. Tentunya penetapan itu secara resmi dikeluarkan Hayam Wuruk, kakaknya yang masih menjadi raja. Tetapi pada waktu itu belum dikukuhkan atau dicatat dalam prasasti, sampai dyah Nirtaja wafat. Sampai Hayam Wuruk wafat, juga belum dicatat dalam prasasti.
Baginda Kertawardhana termasuk kakek buyut Rajasakusuma. Dyah Nirtaja adalah sang nenek yang sangat dihormati Rajasakusuma. Maka ketika sudah menjadi putra mahkota dan memiliki pengaruh besar, Rajasakusuma berniat meneruskan gagasan sang nenek, yaitu berjuang mengukuhkan anugerah yang telah diberikan kepada daerah Waringin Pitu dalam bentuk prasasti atau piagam kerajaan.
Akan tetapi pada 1399M, Rajasakusuma keburu wafat sebelum prasasti kerajaan ditulis. Wafatnya putra mahkota Majapahit ini sangat mungkin akibat perseteruan yang terus berlangsung antara Kedaton Wetan dan Kedaton Kulon. Rajasakusuma bergelar anumerta Hyang Wekas ing Sukha didarmakan di Tajung, nama candi pendarmaannya adalah Paramasukapura. Maka persoalan pengukuhan Waringin Pitu sebagai perdikan kerajaan sementara waktu tenggelam oleh kisah perseteruan Kedaton Barat dan Kedaton Timur.
Pada 1400M, Sri Wikramawardhana turun tahta menjadi Bagawan ke daerah Junjung, Pacira, selatan sungai Brantas dan tahta diserahkan pada permaisurinya Kusumawardhani. Sikap ini sebagai upaya meredam gejolak akibat perseteruan dengan Brhe Wirabhumi.
Tetapi suasana keraton tetap bergolak sehingga Wikramawardhana yang baru setahun bertapa di goa Pacira, Tulungagung, terpaksa kembali mengendalikan kebijakan pemerintahan, meski secara resmi yang menjadi raja tetap permaisurinya. Kembalinya Wikramawardhana justru meningkatkan perselisihan.
Perang dingin antara Wikramawardhana dengan Aji Rajanatha akhirnya pecah menjadi perang Regreg, Paregreg pertama pecah pada 1404M dan perang Regreg terbesar atau Paregreg Agung, pecah pada tahun 1406M. Kedaton Kulon berehasil mengalahkan pemerintahan Kedaton Wetan. Kemudian Wikramawardhana memutuskan kembali meninggalkan keraton, bertekad hidup sebagai biksu Boddha, bertapa di daerah Junjung, Pacira, Tulungagung. Tahta Majapahit diduduki permaisuri Kusumawardhani.
Berdasarkan serat Pararaton, pada tahun 1427M, Wikramawardana wafat, didarmakan di Lalangon atau Boyolangu, Tulungagung, dengan candi pendarmaannya bernama Paramawisesapura. Negarakertagama menulis candi pendarmaan Rajapatni dyah Gayatri juga di Wisesapura. Sudah barang tentu keberadaan pelabuhan penyeberangan di Waringin Pitu dan Majan, Tulungagung, semakin berperan sepanjang sejarah Majapahit
Selesai pendarmaan Wikramawardhana di Boyolangu, Maharani Kusumawardhani menobatkan adik bungsu Manggalawardhana yaitu dyah Kertawijaya sebagai Brhe Tumapel III. Kemudian Maharani Kusumawardhani wafat pada 1429M.
Setelah Kusumawardhani wafat, tahta Majapahit diduduki maharaja Ratnapangkaja dan pada tahun 1437M diduduki oleh permaisurinya yaitu sri Suhita sampai tahun 1447M. Pada masa ini keberadaan Tulungagung tidak banyak terbaca. Tulungagung kembali terbaca jelas setelah Majapahit dipimpin sri maharaja Wijaya Parakrama wardhana dyah Kertawijaya yang naik tahta menggantikan kakak kandungnya, sri Suhita.
Kertawijaya bertahta pada 1447-1451M. Merupakan keturunan keempat Sri Nata Kertarajasa dan sang Rajapatni dyah Gayatri. Di awal pemerintahan, putra bungsu Wikramawardhana dan Kusumawardhani ini mengeluarkan prasasti yang dikenal sebagai prasasti Wijaya Parakrama Wardhana atau Waringin Pitu, 1447M. Isi pokok prasasti Wijaya Parakrama Wardhana adalah penetapan Waringin Pitu sebagai daerah perdikan dharma kerajaan. Kedudukan perdikan dharma kerajaan di Waringin Pitu sebelumnya ditetapkan Sri Paduka Rajasa Duhita Iswari dyah Nirtaja, Bhattara ring Pajang I, nenek Sri Paduka Bhattara Prabu Wijaya Parakrama Wardhana.
Alasan pengukuhan dharma perdikan Waringin Pitu tercantum lengkap dalam prasasti. Disebutkan bahwa pada awalnya yang menyebabkan Waringin Pitu ditetapkan sebagai perdikan kerajaan atau rajadharma oleh Sri Paduka Rajasa Duhita Iswari dyah Nirtaja, lantaran mengingini supaya bangunan suci pratista di Waringin Pitu dijadikan perdikan dharma untuk menjaga peninggalan fana ayahandanya, Sri Paduka Parameswara sang mokta ring sunyalaya.
Rancangan pencatatan prasasti sebelumnya telah disusun Sri Bhattara Hyang Wekas ing Suka. Kini tujuan utamanya menetapkan kesusukan perdikan dharma sampai tuntas tak mangkrak lagi. Karena nama abisheka Sri Bhattara Hyang Wekas ing Suka adalah Rajasa Kusuma, maka perdikan ini bernama Rajasa Kusuma pura.
Semua itu atas kehendak Sri Kertawijaya. Kertawijaya memerintahkan pelaksanaannya supaya pencatatan prasasti diselenggarakan, sebagai upaya menjalankan kehendak yang mulia sang nenek, karena kedudukan perdikan dharma belum juga dikukuhkan dengan penulisan prasasti kerajaan.
Untuk mencapai tujuan itu maka sang mahaguru Isyanata menugaskan Aria Naya Adhikara mengerjakan penulisan prasasti kerajaan. Prasasti dibubuhi cap lencana Wijaya Parakrama Wardhana, disampuli warna kuning. Prasasti itu juga dibacakan dihadapan Sri Paduka Maharaja. Pada tiap-tiap kesempatan yang tepat, para menteri utama senantiasa menunjukkan kemuliaan kepada prasasti itu, utamanya kaum brahmana dan alim ulama agama Siwa dan Boddha.
Pihak perdikan dharma Rajasakusumapura berkekuasaan mengadakan peradilan secara mandiri menggunakan hukum adat pada segala jahat yang menyatroni sepenjuru Waringin Pitu. Batas-batas dan letaknya perdikan sima ditetapkan panjang lebar, disebutkan pula larangan memasuki atau menginjak tanah suci itu bagi pegawai katrini yaitu pangkur, tawan dan tirip. Para pegawai pajak bea cukai baik tinggi maupun rendah dilarang bertugas di daerah Waringin Pitu.
Kenyataan sejarah ini jelas menunjukkan betapa daerah Waringin Pitu, Tulungagung, mendapat perhatian besar dari keluarga istana Majapahit, utamanya dari keturunan sang Rajapatni dyah Gayatri. Upaya besar yang dirintis ratu Pajang dan Sri Batara Hyang Wekasing Suka, yang sempat tertunda di tiga masa pemerintahan raja Majapahit, akhirnya diwujudkan Sri Wijaya Parakrama Wardhana dyah Kertawijaya.
Selain penyebutan Waringin Pitu, Kamalagen, Klagen, Tanjung, Arenarenan, Kepuh, dimana semua nama tempat itu berada di Tulungagung, prasasti Waringin Pitu juga menyebut nama Bhayalangu. Semakin menguatkan bahwa daerah perdikan dharma kerajaan Waringin Pitu memang di Brang Kidul Tulungagung.
Sebagai daerah perdikan kerajaan, Waringin Pitu memiliki kekuasaan mandiri, berhak antara lain mengadakan peradilan berdasarkan hukum adat terhadap setiap kejahatan atau pelanggaran hukum yang terjadi di Waringin Pitu. Daerah perdikan Waringin Pitu juga berada langsung di bawah kekuasaan raja Majapahit, bukan termasuk kekuasaan keraton Daha atau Kadiri. Keraton Daha dalam prasasti Waringin Pitu adalah salah satu keraton bawahan Majapahit.
Sebagaimana telah dipaparkan, berdasarkan prasasti Wijaya Parakrama Wardhana atau prasasti Waringin Pitu bertarikh 1447M, Bhatara Parameswara Kertawardhana didharmakan di Waringin Pitu. Sementara berdasarkan berita Pararaton, Baginda Kertawardhana yang wafat pada 1386M, didharmakan di Japan. Menilik dua sumber sejarah tersebut, sangat mungkin yang dimaksud daerah Japan adalah daerah yang sekarang bernama desa Jepun.
Dapat dikatakan bahwa pararaja Tumapel dan Majapahit sebagian besar bersemayam di bhumi Lawadan Tulungagung. Para tokoh itu antara lain: Tunggul Ametung di Pagerwaja, Mahisa Wonga Teleng di Kalangbret, Tohjaya di Katanglumbang Kalangbret, Raden Wijaya di Simping Suruhwadang, maharajapatni Dyah Gayatri di Boyolangu, Baginda Parameswara Kertawardhana di Waringin Pitu atau Jepun, Rajasakusuma Hyang Wekasing Suka di dharmakan di Suka, dan Sri Wikramawardhana di Boyolangu Wisesapura.
Menjadi pertanyaan besar mengapa pararaja Tumapel Majapahit banyak bersemayam di tanah Tulungagung. Satu jawaban paling masuk akal adalah bahwa Tulungagung merupakan tanah leluhur pararaja Tumapel Majapahit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar